Semarang selain sebagai markas perkeretaapian NIS juga merupakan markas trem SJS. Angkutan trem SJS melayani wilayah regional Semarang dari dalam kota Semarang terus ke arah timur melintasi kota-kota kecil serta menembus rimbunnya hutan jati Demak, Pati, Kudus, Tajoe, hingga Tjepoe. Sebagai pusat pemberangkatan trem uap utama, sebuah stasiun utama didirikan di Semarang di kawasan Djoernatan pada tahun 1882. Saat itu bangunannya masih sederhana, pada tahun 1903 masih berupa bangunan berbahan mayoritas kayu jati.
Dekade berikutnya karena makin luasnya jaringan rel dan makin ramainya angkutan penumpang dan barang mendorong SJS untuk merenovasi stasiun utamanya guna mengakomodasi penumpang yang banyak. Bersamaan dengan proyek renovasi itu juga SJS mengembangkan luas area Remise dan Werkplaats SJS(Balai Yasa Pengapon) menata ulang layout relnya di kawasan Kemidjen dimana terdapat persilangan dengan jalur kereta api milik NIS. Tahun 1913, dilakukan pembangunan stasiun mewah tersebut. Tak tanggung-tanggung, stasiun baru berangka baja dan beratap sebagian kaca ini lebih luas areal emplasemen dan peron jika dibandingkan dengan stasiun terbesar NIS, Tawang NIS, padahal yang dilayani hanya trem uap rangkaian campuran yang tidak lebih dari 8 kereta/gerbong. Uniknya meskipun terletak pada ujung jalur akhir tetapi stasiun ini bukan merupakan jenis stasiun bertipe kopstation yang berdesain stasiun terminus melainkan bertipe paralel sama halnya dengan stasiun Tawang NIS. Sangat mewah jaman itu. Stasiun ini selanjutnya dikenal dengan stasiun Djoernatan Centraal SJS karena letaknya memang berada di pusat kota sejak dulu. Rangkaian trem uap semua jurusan mengawali dan mengakhiri perjalanannya disini. Untuk trem dalam kota Semarang melayani Djoernatan – Boeloe(melintasi Bodjong yang kini menjadi Jl.Pemuda Semarang) dan juga Djoernatan – Djomblang. Untuk kedatangan trem rangkaian panjang mampu dilakukan gerakan langsiran sampai spoor badug. Dari stasiun ini juga terdapat hubungan langsung ke areal bongkar muat barang dan pelabuhan melalui jalur sisi barat stasiun.
Tahun 1940an jalur trem dalam kota Semarang ditutup karena kemungkinan dianggap kurang menguntungkan bagi SJS sehingga beberapa rollingstock nya dipindahkan ke OJS di Soerabaja. Dan setelah Indonesia merdeka, di tahun 1974 layanan kereta api jurusan Demak dipindahkan ke Semarang Tawang karena stasiun ini ditutup(jalur menuju Demak sendiri ditutup sekitar tahun 1980). Dan semenjak dipindah itu beralih fungsi menjadi terminal bus induk Semarang walaupun tak terlalu lama. Pada tahun 1980an stasiun ini dibongkar menjadi pertokoan Jurnatan. Sampai saat ini di atas salah satu kavling ruko terpasang logo PJKA Wijayakusuma bertuliskan “Sentral Jurnatan” sebagai penanda bahwa kompleks pertokoan tersebut dulunya adalah lokasi stasiun Jurnatan yang pernah berjaya melayani operasional trem SJS. Sungguh sangat disayangkan karena saat itu belum ada divisi PJKA yang menangani aset bersejarah sehingga cerita mengenai stasiun mewah ini hanya bisa dilihat melalui foto dan catatan sejarah saja.
Memasuki awal abad ke 20, kecepatan kereta api menjadi penting untuk mempersingkat waktu tempuh perjalanan. Pada masa itulah berkembang pesat teknologi pada lokomotif uap.
SS(Staatsspoorwegen) yang merupakan perusahaan kereta api negara mulai memikirkan cara untuk mempercepat waktu tempuh terutama rute Soerabaja-Batavia. Selain dibangunnya jalur baru Kroja – Cheribon mulai 1908, hampir bersamaan dengan proyek tersebut dipesan juga lokomotif uap cepat generasi awal dari Hanomag serta Hartmann di Jerman, dan Werkspoor asal Belanda sendiri. Didatangkan secara bergelombang sejak 1900 – 1908. Lokomotif ini menggunakan dua silinder compound. Silinder ini diklaim lebih efisien karena uap dari silinder tekanan tinggi disalurkan menuju ke silinder bertekanan rendah dan, kemudian baru dikeluarkan ke cerobong. Walaupun demikian, perawatan pada lokomotif ini ternyata cukup rumit. Lokomotif seri ini tidak lagi diproduksi sejak ditemukannya teknologi superheater. Lokomotif baru SS dua silinder compound dapat melaju sampai 75 km/jam dengan stabil. Lokomotif berkonfigurasi roda 4-4-0 ini mampu mengasilkan daya 415 HP. Bahan bakarnya adalah kayu jati. Berat siap lokomotif ini adalah 32 ton. Dengan roda penggerak berdiameter 1503 mm ini merupakan salah satu yang terbesar diantara lokomotif SS lainnya jaman itu. Uniknya lagi, lokomotif ini mirip dengan seri Prussian P4 gauge 1435 mm di Jerman yang secara fisik hampir identik. Total ada 44 buah yang didatangkan. SS memberi nomor seri SS300 dimana saat itu menjadi nomor urut kelas terbesar dari seluruh lokomotif yang dimiliki SS.
Lokomotif yang selanjutnya dilakukan penomoran ulang menjadi seri SS600 ini langsung menjadi populer dan sering dipergunakan menarik rangkaian kereta api di lintas utama, seperti Madioen – Kertosono, Maos – Kroja – Koetoardjo, dan Soerabaja – Pasoroean. Perlahan, seri SS600 mulai menggantikan peran seri lokomotif sebelumnya SS100-SS200(nomor DKA C11, C12, dan B50) yang sebelumnya merajai jalur lintas utama. Selain diperuntukkan menarik kereta penumpang juga dipergunakan kereta barang dan campuran cepat. Krisis ekonomi Hindia Belanda mulai 1929 mengakibatkan SS mengurangi operasional lokomotif-lokomotif uap lamanya, namun beruntung SS600 berhasil dikonversi dan tetap digunakan bersama-sama dengan lokomotif SS yang lebih baru didatangkan.
Nomor Awal
Nomor Akhir
Nomor DKA
Tahun
Pabrik Pembuat
Nomor pabrik
SS284 – 291
SS601 – 608
B5101-08
1900
Hanomag
3358-3365
SS300 – 307
SS609 – 616
B5109-16
1902-3
3863-3870
SS308 – 311
SS617-620
B5117-20
1903
4025-4028
SS317 – 322
SS621-626
B5121-26
1905
Hartmann
2896-2901
SS323 – 328
SS627-632
B5127-32
1905
Hanomag
4316-4321
SS338 – 340
SS634-636
B5133-35
1907
Werkspoor
178-180
SS345 – 346
SS637-638
B5136-37
1908
Hartmann
3154-3155
SS365 – 366
SS643-644
B5138-39
1910
Werkspoor
248-249
SS337
SS633
B5151
1907
177
SS351 – 354
SS639-642
B5152-55
1908
188-191
Pada masa penjajahan Jepang, satu lokomotif SS600 dipindahkan ke jalur Muaro – Pekanbaroe untuk menarik kereta batubara yang akhirnya ditutup pada September 1945. Setelah kemerdekaan, lokomotif SS600 diubah penomorannya secara resmi oleh DKA menjadi B51. Karena masuknya lokomotif-lokomotif baru maka lokomotif uap B51 hanya diperbolehkan menarik kereta lokal di lintas cabang Jombang – Babat – Tuban, Cepu – Bojonegoro, termasuk Tanahabang – Rangkasbitung – Merak.
Salah satu lokomotif B51, yaitu nomor 12 yang pada jaman PJKA menghuni Dipo Cepu dipindahkan ke museum Ambarawa mulai 1976 dan menjadi monumen koleksi statis. Beruntung sekali pada tahun 2011 Divisi Heritage PT.KAI mengadakan penghidupan lokomotif uap lagi untuk wisata guna mengembangkan museum Ambarawa. Dan ternyata B5112 terpilih karena ketel uapnya masih baik. Setelah menjalani 2 tahun masa restorasi oleh tim ahli lokomotif uap Ambarawa seperti penggantian komponen penggerak hingga perbaikan tampilan fisik sesuai aslinya, maka pada tahun 2013 sudah siap layak jalan kembali. Kini lokomotif B5112 diberi nama lokomotif “SUN” oleh Dirut KAI Jonan pada saat ulang tahun ke 69 PT.KAI tanggal 28 September 2014.
Kalau anda ingin menyaksikan kegagahan lokomotif uap yang sudah berusia 113 tahun ini silahkan berkunjung dan sempatkan naik kereta wisata di Ambarawa!
Kalau ada kesempatan jalan-jalan di kota Surabaya coba lihatlah viaduk kereta api di Jl.Pahlawan dekat Tugu Pahlawan, dan cobalah telusuri jalur rel sampai ke viaduk Jl.Gembong-Bunguran. Nampak kokoh bangunan viaduk beton menantang jaman hingga kini. Ya, itulah jalur layang kereta api yang dibangun SS(Staatsspoorwegen) guna mengurangi kepadatan jalan raya akibat menunggu kereta api lewat di perlintasan.
Awalnya jalur rel Soerabaja – Kalimas yang dibangun tahun 1890-1900 berguna untuk angkutan kereta barang termasuk aktivitas langsiran. Disusul juga jalur ke arah Fort Prins Hendrik(sekarang Benteng). Bersamaan dengan era tersebut NIS(Nederlandsch-Indische Spoorweg Mij) membuka jalur kereta apinya dari Lamongan ke stasiun Soerabaja NIS(sekarang stasiun Pasar Turi). Saat itu jalur rel SS belum sepenuhnya terhubung ke Soerabaja NIS dikarenakan memang keduanya perusahaan yan berbeda. Berkembangnya jaman membuat kian padat jalan-jalan di kota Soerabaja yang dilintasi rel kereta api, apalagi ada juga jalur trem yang memotong juga jalur kereta api SS yaitu di Passar Besar weg(sekarang Jl.Pahlawan). Puncaknya awal 1920 sudah membuat macet jalan raya karena selain sepeda, kereta kuda, dan pedati mobil mulai populer di Soerabaja. Mobil bersaing dengan kereta kuda ditambah lagi ada trem listrik yang lewat. Tentu ini menyebabkan suatu bottleneck jaman itu(apalagi sekarang) karena efeknya bisa macet panjang.
Melihat hal ini SS memikirkan untuk memecahkan solusi kemacetan karena menunggu perlintasan kereta api. Memang, sudah sejak awal sebelumnya SS membangun jalur relnya dipinggir kota agar tidak mengganggu aktivitas lalu-lintas kota. Jadi saat itu sisi timur lintas Soerabaja – Wanakrama sudah termasuk distrik Djabakota(luar kota) yang jarang ditemui pemukiman. Tetapi memasuki 1900 sudah mulai bertumbuh kota di sisi timur jalur rel SS. Maka mulai 1920 diputuskan membuat jalur layang Sidotopo – Kalimas/Soerabaja NIS dengan membuat viaduk-viaduk beton dan jembatan baja. Rancangan viaduk Aloen-aloen straat Pasar Besar ini dikerjakan G.C Citroen tahun 1924, seorang arsitek terkenal yang merancang bangunan-bangunan lain di Soerabaja seperti Balai Kota dan jembatan Simpang Goebeng. Peresmian viaduk sekaligus jalur layang ini dilakukan pada 28 Oktober 1926 dan dihadiri pejabat SS. Jadi sekarang tidak perlu lagi membuang waktu menunggu perlintasan kereta api, selain itu lalu-lintas kereta api juga tidak terganggu.
Tak hanya berhenti sampai itu aja, SS ternyata juga meninggikan jalur rel Goebeng SS – Wanakrama membentuk tanggul tinggi seperti halnya yang masih bisa kita lihat di Jl.Nias, ada juga viaduk Kertajaya yang masih asli hingga kini. Tahun 1930an SS sudah mempersiapkan viaduk lain, yaitu untuk jalur shortcut Kalimas – Goebeng SS guna mengembangkan jalur rel perkotaan di Soerabaja. Sayang sekali karena adanya Perang Dunia II dan masuknya Jepang ke Indonesia SS belum sempat menyelesaikan jalur baru ini. Sisanya adalah viaduk di perlintasan kereta api Jl.Ngaglik yang sudah dipersiapkan untuk jalur ganda namun belum sempat dipasang rel diatasnya.
Sayangnya hingga kini proyek elevated kereta api di Surabaya hanya sebatas wacana. Kalau jaman dulu saja sudah kondisi padat namun ditanggapi dengan cepat oleh pemerintah Hindia-Belanda, bagaimana dengan tingkat kepadatan kondisi jalan raya sekarang? Memang, sudah selayaknya jalur kereta perkotaan bebas hambatan dan dibangun elevated mengingat padatnya lalu-lintas jalan-jalan kini yang menyebabkan banyaknya kecelakaan akibat cerobohnya pengguna jalan menyeberangi perlintasan.
Kota Batavia dan Soerabaja menjadi tantangan bagi perusahaan kereta api negara SS(Staatspoorwegen) untuk menyediakan sarana transportasi bagi penglaju dan pengusaha terutama orang-orang Eropa. Setelah selesainya jalur sambungan dari Batavia ke Soerabaja, diadakan kereta api dari Soerabaja ke Batavia mulai tahun 1894 memakan waktu 2 hari perjalanan(28-29 jam sampai 32,5 jam). Lama sekali? Penyebabnya adalah kereta api tidak diperbolehkan untuk berjalan di malam hari karena faktor alasan keamanan misalnya jalurnya yang tidak berpagar, bahaya tanah longsor sampai hujan tropis. Faktor lainnya adalah SS juga belum mempercayai kaum pribumi menjadi staf dan pengatur lalu-lintas kereta api untuk mengoperasikan keretanya di waktu malam. Jadi semua kereta api berhenti beroperasi jam 6 atau jam 7 malam. Prosedur ini terus berlanjut sampai tahun 1918. Di era tersebut SS menjalankan kereta api “Java Expres” Soerabaja – Batavia, kereta api dari Soerabaja sesampainya di Bandoeng hari sudah gelap sehingga para penumpang menginap di hotel terdekat dari stasiun. Baru keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Batavia. Begitu juga untuk kereta api dari Batavia sesampainya di Djogjakarta harus berhenti dan menginap untuk melanjutkan perjalanan pagi harinya ke Soerabaja. Tak hanya itu, pada jalur lintas Djogjakarta-Soerakarta memiliki perbedaan gauge(lebar sepur) membuat penumpang harus oper dari kereta SS ke kereta api milik NIS yang lebar sepurnya 1435 mm. Perjalanan ini adalah suatu kemajuan hebat mengingat sebelum adanya kereta api di Djawa perjalanan kedua kota besar tersebut memakan waktu 2 minggu karena menggunakan dokar dan pedati.
Tak berselang lama kemudian pada 6 Februari 1896 lama perjalanan berkurang menjadi 24 jam. Jadi Soerabaja-Maos bisa ditempuh dalam sehari dan Maos-Batavia di hari berikutnya, demikian untuk sebaliknya. Selain penumpang, angkutan barang juga perlu dipindahkan di Djogja dan Solo karena pergantian kereta api. Seorang pimpinan SS, J.K. Kempees pernah mengharapkan andai saja bisa dilakukan pembangunan jalur kereta api oleh SS lintas Soerabaja-Semarang-Cheribon-Batavia agar dapat dipercepat tetapi tidak pernah terealisasi karena adanya UU Jalur trem yang memungkinkan operasional jalur Semarang-Cirebon sebagai jalur trem.
Dibukanya jalur baru dari Cheribon – Proepoek – Poerwokerto – Kroja pada 1 Januari 1917 membuat waktu tempuh dapat dipersingkat menjadi 17 jam, dikarenakan kereta api dari dan ke Batavia tidak perlu lagi melintasi jalur Parahyangan sampai Bandoeng yang medannya berat. Tahun 1920an SS melakukan proyek besar diantaranya memasang jalur rel selebar 1067 mm disamping jalur NIS Djogjakarta – Soerakarta dan pengembangan stasiun Batavia Zuid(sekarang stasiun Jakartakota), selain itu didatangkan pula lokomotif-lokomotif uap baru yang lebih cepat dan bertenaga. Akhirnya tahun 1929 selesai sudah proyek tersebut.
Untuk merayakan selesainya pemasangan lintas Djogja – Solo tadi, diluncurkan kereta api “Eendaagsche Expres” yang merupakan kereta cepat Soerabaja – Batavia kelas mewah. Kereta ini diartikan SS “berjalan sepanjang matahari bersinar dari pagi sampai sore”. Perjalanan perdana tanggal 1 November 1929 dihadiri pejabat peringgi SS yang ikut serta naik dalam kereta. Sepanjang 13,5 jam perjalanan masyarakat antusias menyambut kereta ini. Eendaagsche Expres yang melaju dengan kecepatan maksimal 100 km/jam di lintas Cheribon – Proepoek ini menyelesaikan perdannya di sore hari menjelang malam. Para penjemput dan wartawan berita surat kabar di Soerabaja ternyata sudah berjam-jam sebelumnya menunggu tibanya Eendaagsche Expres di stasiun Goebeng SS dan Soerabaja SS.
Formasi rangkaiannya terdiri dari kelas I, kelas II, kereta restauratie(kereta makan) dan bagasi. Total panjangnya dapat mencapai 10 kereta. Untuk memanjakan para penumpangnya interior kereta dan kabinnya dibuat mewah bergaya kereta ekspres di Eropa jaman itu. Ada kursi berjok kulit, fasilitas pendingin udara dari es batu yang disalurkan ke kereta. Selain itu tentunya tersedia menu makanan khas Djawa dan Eropa yang dapat dipesan di kereta makan sembari menikmati panorama sepanjang perjalanan. Para penumpang dapat menggunakan jasa telegraf di kereta untuk keperluan komunikasi. Eendaagsche Expres selain dari Batavia juga melayani sampai Bandoeng, dimana jika kereta dari Soerabaja setibanya di stasiun Kroja rangkaiannya ada yang dipisah untuk menuju Bandoeng dan satu lagi melanjutkan perjalanan ke Batavia, begitu sebaliknya kereta menuju Soerabaja kedatangan kedua kereta akan digabung. Dan lagi, untuk mengakomodasi penumpang di kota yang dilalui lintas cabang, para penumpang dapat melakukan perjalanan estafet/oper dengan kereta lokal dari dan ke stasiun lintas utama perhentian Eendaagsche Expres. Ini dikarenakan SS membuat penyesuaian jadwal kereta lokal dengan jadwal tibanya Eendaagsche Expres di stasiun pertemuan lintas utama dan lintas cabang.
Sebagai kereta bendera SS yang diandalkan, Eendaagsche Expres menggunakan lokomotif uap cepat kebanggan SS. Lokomotif penarik dilakukan pergantian sebanyak 4 kali. Untuk Soerabaja – Madioen – Djogjakarta digunakan SS1000(C53), Poerwokerto – Proepoek diganti SS1600(CC50) karena jalurnya menanjak, Proepoek – Cheribon – Batavia menggunakan SS700(C50). Untuk lintas Bandjar – Bandoeng mulanya digunakan SS1700(C30) lalu diganti SS dengan SS900(D50). Di stasiun pergantian lokomotif, sudah siap sedia lokomotif pengganti sehingga tak perlu waktu berlama-lama berhenti hanya untuk mengganti lokomotif. Secara perlahan SS berhasil mempersingkat waktu tempuh menjadi 12 jam di tahun 1934. Pada tahun 1939 SS berhasil mempercepat perjalanan lagi hingga mencetak rekor 11 jam 27 menit dengan rata-rata kecepatan perjalanan 71,7 km/jam. Makin cepatnya kereta api sesuai dengan semboyan SS “Steeds Sneller“. Rekor ini ternyata menjadi kereta tercepat se-Asia pada masa itu. Tentunya SS sangat bangga dengan prestasi ini.
Tarif sekitar tahun 1934 (termasuk tuslah)
Batavia – Soerabaja
kelas I : ƒ 40.10
kelas II : ƒ 27.70
kelas III : ƒ 11.54
Bandoeng – Soerabaja
kelas I : ƒ 34.40
kelas II : ƒ 23.90
kelas III : ƒ 10.28
Jadwal Eendaagsche Expres tahun 1939
Batavia – Soerabaja
Stasiun
Datang
Berangkat
Batavia Koningsplein(Gambir)
06.45
Tjikampek
07.47
07.48
Cheribon SS
09.32
09.37
Proepoek
10.32
10.37
Poerwokerto
11.36
11.42
Kroja
12.07
12.17
Djogjakarta
14.03
14.08
Soerakarta
14.55
14.57
Madioen
16.09
16.14
Kertosono
17.07
17.09
Modjokerto
17.40
17.41
Soerabaja Goebeng SS
18.15
Bandoeng-Kroja yang akan digabung dengan rangkaian dari Batavia
Foto ini diambil pada tahun 1880. Coba tebak stasiun kereta api dimanakah pada foto dibawah ini?
Kemungkinan besar Anda akan menjawab stasiun Gubeng, stasiun Pasuruan atau stasiun Buitenzorg(Bogor). Ternyata tidak! Ini adalah stasiun Surabaya Kota yang diambil sekitar tahun 1880. Lho masa, bukannya stasiun Surabaya Kota yang lama adalah di depan Atom Mall yang baru selesai dipugar? Kok beda ya?
Berikut penjelasannya:
Stasiun Soerabaja SS atau dikenal lain dengan nama stasiun Bibis/Semoet merupakan pemberhentian kereta api milik SS(Staatsspoorwegen) pertama yang dibangun untuk lintas pertama Soerabaja – Pasoeroean. Stasiun pertama ini dibangun sekitar tahun 1877. Bangunan stasiun berarsitektur neoklasik yang populer pada jaman akhir abad 19 itu, tergolong megah dengan pilar menyerupai bentuk pintu. Masih di kompleks emplasemen stasiun tepatnya sebelah selatan dibangun dipo lokomotif dan kereta. Tak jauh dari stasiun didirikan kantor SS yang setelah kemerdekaan sempat menjadi kantor PNKA eksploitasi timur, sayangnya bangunan ini dibongkar menjadi pertokoan di tahun 1980an.
Setelah dilakukan renovasi stasiun dengan penambahan ruang pada ujung sayap bangunan. Lalu menjelang tahun 1895 dibangun stasiun baru di sisi timurnya yang berjarak sekitar 100 meter. Masih belum ada alasan yang pasti mengapa SS memindahkan stasiun baru padahal bangunan stasiun yang pertama sudah cukup besar. Yang jelas sejak tahun 1890 angkutan kereta api SS mengalami peningkatan jumlah penumpang dan barang, apalagi dibukanya jalur ke arah barat menuju Kertosono dan Madiun via Sidoarjo dan ke timur menuju Jember. Inilah yang mendorong SS melebarkan peron dan emplasemen stasiun. Maka perlu membangun lagi bangunan stasiun ketimbang merenovasinya. Akhirnya untuk dipo diputuskan direlokasi ke areal baru yang besar, dipilihlah Sidatapa yang masih rawa-rawa. Sebagai catatan, saat itu baru diselesaikan jalur rel hingga Prins Hendrik-Oedjoeng(sekarang kawasan Depo Pertamina Benteng) yang melintasi kawasan Sidotopo.
Pada peta Surabaya tahun 1898 tergambar areal stasiun mengalami perluasan emplasemen dan masih nampak bangunan stasiun pertama. Ada juga gambar bangunan baru stasiun di sebelahnya. Kemudian pada peta tahun 1934 bangunan stasiun pertama tidak lagi tergambar, maka bisa diambil kesimpulan bahwa stasiun ini bisa jadi dibongkar SS sendiri.
Hingga setelah kemerdekaan stasiun ini tetap melayani penumpang hingga tahun 1991. Semenjak itu aktivitas dipindah ke Indo Plaza yang berada pada 200 meter baart stasiun. Hal itu karena disekitar stasiun berkembang pesat pertokoan yang menghancurkan satu-persatu bangunan bersejarah kota lama Surabaya. Beruntung sekali, walaupun stasiun bersejarah ini hampir musnah karena dibongkar pada tahun 2004 hingga tinggal dinding dan rangka kanopi, akhirnya berhasil dihentikan oleh para pemerhati sejarah dan ditetapkan sebagai cagar budaya. Pada tahun 2011 pemugaran bangunan stasiun Soerabaja Kota resmi dimulai oleh PT.KAI, BP3 Trowulan bekerjasama dengan pihak heritage negeri Belanda. Pembangunan kembali ini dilakukan secara hati-hati dan membutuhkan riset mendalam, bahkan beberapa material tertentu diimpor dari Belanda. Setelah 4 tahun masa pemugaran akhirnya dapat selesai pada Agustus 2015.
Memang, stasiun Soerabaja Kota adalah bangunan yang sangat harus dipertahankan dan menjadi bukti peranan kereta api bagi kemajuan kota Surabaya terutama kawasan disekitarnya yang adalah pusat kota saat itu.