Mengenal Lebih Dekat Lokomotif Uap SS600

Memasuki awal abad ke 20, kecepatan kereta api menjadi penting untuk mempersingkat waktu tempuh perjalanan. Pada masa itulah berkembang pesat teknologi pada lokomotif uap.

SS(Staatsspoorwegen) yang merupakan perusahaan kereta api negara mulai memikirkan cara untuk mempercepat waktu tempuh terutama rute Soerabaja-Batavia. Selain dibangunnya jalur baru Kroja – Cheribon mulai 1908, hampir bersamaan dengan proyek tersebut dipesan juga lokomotif uap cepat generasi awal dari Hanomag serta Hartmann di Jerman, dan Werkspoor asal Belanda sendiri. Didatangkan secara bergelombang sejak 1900 – 1908. Lokomotif ini menggunakan dua silinder compound. Silinder ini diklaim lebih efisien karena uap dari silinder tekanan tinggi disalurkan menuju ke silinder bertekanan rendah dan, kemudian baru dikeluarkan ke cerobong. Walaupun demikian, perawatan pada lokomotif ini ternyata cukup rumit. Lokomotif seri ini tidak lagi diproduksi sejak ditemukannya teknologi superheater. Lokomotif baru SS dua silinder compound dapat melaju sampai 75 km/jam dengan stabil. Lokomotif berkonfigurasi roda 4-4-0 ini mampu mengasilkan daya 415 HP. Bahan bakarnya adalah kayu jati. Berat siap lokomotif ini adalah 32 ton. Dengan roda penggerak berdiameter 1503 mm ini merupakan salah satu yang terbesar diantara lokomotif SS lainnya jaman itu. Uniknya lagi, lokomotif ini mirip dengan seri Prussian P4 gauge 1435 mm di Jerman yang secara fisik hampir identik. Total ada 44 buah yang didatangkan. SS memberi nomor seri SS300 dimana saat itu menjadi nomor urut kelas terbesar dari seluruh lokomotif yang dimiliki SS.

5099519573_5eb897cd9e
Foto pabrik SS325(spoorwegarchief, nederland)
Lokomotif SS317 yang akhirnya diganti nomor SS621(DKA B5121).
Lokomotif SS317 yang akhirnya diganti nomor SS621(DKA B5121).(source: spoorwegarchief, nederland)
Suasana stasiun Maos tahun 1919 dan lokomotif SS600 tampak sedang melakukan aktivitas langsiran(source: tropenmuseum, nederland)
Suasana stasiun Maos tahun 1919 dan lokomotif SS600 tampak sedang melakukan aktivitas langsiran(source: tropenmuseum, nederland)

Lokomotif yang selanjutnya dilakukan penomoran ulang menjadi seri SS600 ini langsung menjadi populer dan sering dipergunakan menarik rangkaian kereta api di lintas utama, seperti Madioen – Kertosono, Maos – Kroja – Koetoardjo, dan Soerabaja – Pasoroean. Perlahan, seri SS600 mulai menggantikan peran seri lokomotif sebelumnya SS100-SS200(nomor DKA C11, C12, dan B50) yang sebelumnya merajai jalur lintas utama. Selain diperuntukkan menarik kereta penumpang juga dipergunakan kereta barang dan campuran cepat. Krisis ekonomi Hindia Belanda mulai 1929 mengakibatkan SS mengurangi operasional lokomotif-lokomotif uap lamanya, namun beruntung SS600 berhasil dikonversi dan tetap digunakan bersama-sama dengan lokomotif SS yang lebih baru didatangkan.

Nomor Awal Nomor Akhir Nomor DKA Tahun Pabrik Pembuat Nomor pabrik
SS284 – 291 SS601 – 608 B5101-08 1900 Hanomag 3358-3365
SS300 – 307 SS609 – 616 B5109-16 1902-3 3863-3870
SS308 – 311 SS617-620 B5117-20 1903 4025-4028
SS317 – 322 SS621-626 B5121-26 1905 Hartmann 2896-2901
SS323 – 328 SS627-632 B5127-32 1905 Hanomag 4316-4321
SS338 – 340 SS634-636 B5133-35 1907 Werkspoor 178-180
SS345 – 346 SS637-638 B5136-37 1908 Hartmann 3154-3155
SS365 – 366 SS643-644 B5138-39 1910 Werkspoor 248-249
SS337 SS633 B5151 1907 177
SS351 – 354 SS639-642 B5152-55 1908 188-191

Pada masa penjajahan Jepang, satu lokomotif SS600 dipindahkan ke jalur Muaro – Pekanbaroe untuk menarik kereta batubara yang akhirnya ditutup pada September 1945. Setelah kemerdekaan, lokomotif SS600 diubah penomorannya secara resmi oleh DKA menjadi B51. Karena masuknya lokomotif-lokomotif baru maka lokomotif uap B51 hanya diperbolehkan menarik kereta lokal di lintas cabang Jombang – Babat – Tuban, Cepu – Bojonegoro, termasuk Tanahabang – Rangkasbitung – Merak.

Siap melayani kereta wisata Ambarawa - Tuntang
B5112 siap melayani kereta wisata Ambarawa – Tuntang(source: Heritage PT.KAI)

Salah satu lokomotif B51, yaitu nomor 12 yang pada jaman PJKA menghuni Dipo Cepu dipindahkan ke museum Ambarawa mulai 1976 dan menjadi monumen koleksi statis. Beruntung sekali pada tahun 2011 Divisi Heritage PT.KAI mengadakan penghidupan lokomotif uap lagi untuk wisata guna mengembangkan museum Ambarawa. Dan ternyata B5112 terpilih karena ketel uapnya masih baik. Setelah menjalani 2 tahun masa restorasi oleh tim ahli lokomotif uap Ambarawa seperti penggantian komponen penggerak hingga perbaikan tampilan fisik sesuai aslinya, maka pada tahun 2013 sudah siap layak jalan kembali. Kini lokomotif B5112 diberi nama lokomotif “SUN” oleh Dirut KAI Jonan pada saat ulang tahun ke 69 PT.KAI tanggal 28 September 2014.

Kalau anda ingin menyaksikan kegagahan lokomotif uap yang sudah berusia 113 tahun ini silahkan berkunjung dan sempatkan naik kereta wisata di Ambarawa!

Jalur Rel Elevated Soerabaja Sudah Direncanakan Sejak Jaman SS!

Kalau ada kesempatan jalan-jalan di kota Surabaya coba lihatlah viaduk kereta api di Jl.Pahlawan dekat Tugu Pahlawan, dan cobalah telusuri jalur rel sampai ke viaduk Jl.Gembong-Bunguran. Nampak kokoh bangunan viaduk beton menantang jaman hingga kini. Ya, itulah jalur layang kereta api yang dibangun SS(Staatsspoorwegen) guna mengurangi kepadatan jalan raya akibat menunggu kereta api lewat di perlintasan.

Awalnya jalur rel Soerabaja – Kalimas yang dibangun tahun 1890-1900 berguna untuk angkutan kereta barang termasuk aktivitas langsiran. Disusul juga jalur ke arah Fort Prins Hendrik(sekarang Benteng). Bersamaan dengan era tersebut NIS(Nederlandsch-Indische Spoorweg Mij) membuka jalur kereta apinya dari Lamongan ke stasiun Soerabaja NIS(sekarang stasiun Pasar Turi). Saat itu jalur rel SS belum sepenuhnya terhubung ke Soerabaja NIS dikarenakan memang keduanya perusahaan yan berbeda. Berkembangnya jaman membuat kian padat jalan-jalan di kota Soerabaja yang dilintasi rel kereta api, apalagi ada juga jalur trem yang memotong juga jalur kereta api SS yaitu di Passar Besar weg(sekarang Jl.Pahlawan). Puncaknya awal 1920 sudah membuat macet jalan raya karena selain sepeda, kereta kuda, dan pedati mobil mulai populer di Soerabaja. Mobil bersaing dengan kereta kuda ditambah lagi ada trem listrik yang lewat. Tentu ini menyebabkan suatu bottleneck jaman itu(apalagi sekarang) karena efeknya bisa macet panjang.

Parade melewati perlintasan kereta api Pasar Besar sekitar tahun 1910
Parade melewati perlintasan kereta api Pasar Besar sekitar tahun 1910.
Di lokasi yang sama sekitar tahun 1925, kemacetan panjang terjadi. Mobil perlu bersaing dengan kereta kuda, belum lagi trem listrik harus diuatamakan. Sebuah permasalahan yang harus dipecahkan secara sistematis.
Di lokasi yang sama sekitar tahun 1925, tampak kereta api baru lewat dan kemacetan panjang terjadi. Mobil perlu bersaing dengan kereta kuda, belum lagi trem listrik harus diuatamakan. Sebuah permasalahan yang harus dipecahkan secara sistematis.

Melihat hal ini SS memikirkan untuk memecahkan solusi kemacetan karena menunggu perlintasan kereta api. Memang, sudah sejak awal sebelumnya SS membangun jalur relnya dipinggir kota agar tidak mengganggu aktivitas lalu-lintas kota. Jadi saat itu sisi timur lintas Soerabaja – Wanakrama sudah termasuk distrik Djabakota(luar kota) yang jarang ditemui pemukiman. Tetapi memasuki 1900 sudah mulai bertumbuh kota di sisi timur jalur rel SS. Maka mulai 1920 diputuskan membuat jalur layang Sidotopo – Kalimas/Soerabaja NIS dengan membuat viaduk-viaduk beton dan jembatan baja. Rancangan viaduk Aloen-aloen straat Pasar Besar ini dikerjakan G.C Citroen tahun 1924, seorang arsitek terkenal yang merancang bangunan-bangunan lain di Soerabaja seperti Balai Kota dan jembatan Simpang Goebeng. Peresmian viaduk sekaligus jalur layang ini dilakukan pada 28 Oktober 1926 dan dihadiri pejabat SS. Jadi sekarang tidak perlu lagi membuang waktu menunggu perlintasan kereta api, selain itu lalu-lintas kereta api juga tidak terganggu.

Viaduk beton di Gembong sebagai jalur layang Sidotopo - Kalimas, tidak banyak berubah hingga kini.
Viaduk beton di Gembong sebagai jalur layang Sidotopo – Kalimas dipotret dari sisi selatan, tidak banyak berubah hingga kini.(source: Universiteit Leiden)

Tak hanya berhenti sampai itu aja, SS ternyata juga meninggikan jalur rel Goebeng SS – Wanakrama membentuk tanggul tinggi seperti halnya yang masih bisa kita lihat di Jl.Nias, ada juga viaduk Kertajaya yang masih asli hingga kini. Tahun 1930an SS sudah mempersiapkan viaduk lain, yaitu untuk jalur shortcut Kalimas – Goebeng SS guna mengembangkan jalur rel perkotaan di Soerabaja. Sayang sekali karena adanya Perang Dunia II dan masuknya Jepang ke Indonesia SS belum sempat menyelesaikan jalur baru ini. Sisanya adalah viaduk di perlintasan kereta api Jl.Ngaglik yang sudah dipersiapkan untuk jalur ganda namun belum sempat dipasang rel diatasnya.

Peresmian kereta pertama yang melintas viaduk dan kereta terakhir yang melintas perlintasan jalur bawah. Jalur lama berada di utara viaduk dan ditutup SS semenjak viaduk dibuka. Tampak trem listrik OJS menyaksikan acara tersebut.(source: KITLV)
Peresmian kereta pertama yang melintas viaduk dan kereta terakhir yang melintas perlintasan jalur bawah. Jalur lama berada di utara viaduk dan ditutup SS semenjak viaduk dibuka. Tampak trem listrik OJS menunggu jalan dibuka.(source: KITLV)
Meriahnya pembukaan jalur atas selain dirayakan petinggi Belanda juga disaksikan kaum pribumi.(source: KITLV)
Meriahnya pembukaan jalur atas selain dirayakan petinggi Belanda juga disaksikan kaum pribumi.(source: KITLV)
Trem listrik melintas dibawah viaduk Pasar Besar. Jika malam hari viaduk ini akan menyala indah karena dipasang rangkaian lampu.
Trem listrik melintas dibawah viaduk Pasar Besar yang mulai dibangun tahun 1924. Jika malam hari viaduk ini akan menyala indah karena dipasang rangkaian lampu.(source: Universiteit Leiden)

Sayangnya hingga kini proyek elevated kereta api di Surabaya hanya sebatas wacana. Kalau jaman dulu saja sudah kondisi padat namun ditanggapi dengan cepat oleh pemerintah Hindia-Belanda, bagaimana dengan tingkat kepadatan kondisi jalan raya sekarang? Memang, sudah selayaknya jalur kereta perkotaan bebas hambatan dan dibangun elevated mengingat padatnya lalu-lintas jalan-jalan kini yang menyebabkan banyaknya kecelakaan akibat cerobohnya pengguna jalan menyeberangi perlintasan.

Menikmati Indahnya Jawa dengan Eendaagsche Expres

Kota Batavia dan Soerabaja menjadi tantangan bagi perusahaan kereta api negara SS(Staatspoorwegen) untuk menyediakan sarana transportasi bagi penglaju dan pengusaha terutama orang-orang Eropa. Setelah selesainya jalur sambungan dari Batavia ke Soerabaja, diadakan kereta api dari Soerabaja ke Batavia mulai tahun 1894 memakan waktu 2 hari perjalanan(28-29 jam sampai 32,5 jam). Lama sekali? Penyebabnya adalah kereta api tidak diperbolehkan untuk berjalan di malam hari karena faktor alasan keamanan misalnya jalurnya yang tidak berpagar, bahaya tanah longsor sampai hujan tropis. Faktor lainnya adalah SS juga belum mempercayai kaum pribumi menjadi staf dan pengatur lalu-lintas kereta api untuk mengoperasikan keretanya di waktu malam. Jadi semua kereta api berhenti beroperasi jam 6 atau jam 7 malam. Prosedur ini terus berlanjut sampai tahun 1918. Di era tersebut SS menjalankan kereta api “Java Expres” Soerabaja – Batavia, kereta api dari Soerabaja sesampainya di Bandoeng hari sudah gelap sehingga para penumpang menginap di hotel terdekat dari stasiun. Baru keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Batavia. Begitu juga untuk kereta api dari Batavia sesampainya di Djogjakarta harus berhenti dan menginap untuk melanjutkan perjalanan pagi harinya ke Soerabaja. Tak hanya itu, pada jalur lintas Djogjakarta-Soerakarta memiliki perbedaan gauge(lebar sepur) membuat penumpang harus oper dari kereta SS ke kereta api milik NIS yang lebar sepurnya 1435 mm. Perjalanan ini adalah suatu kemajuan hebat mengingat sebelum adanya kereta api di Djawa perjalanan kedua kota besar tersebut memakan waktu 2 minggu karena menggunakan dokar dan pedati.
Tak berselang lama kemudian pada 6 Februari 1896 lama perjalanan berkurang menjadi 24 jam. Jadi Soerabaja-Maos bisa ditempuh dalam sehari dan Maos-Batavia di hari berikutnya, demikian untuk sebaliknya. Selain penumpang, angkutan barang juga perlu dipindahkan di Djogja dan Solo karena pergantian kereta api. Seorang pimpinan SS, J.K. Kempees pernah mengharapkan andai saja bisa dilakukan pembangunan jalur kereta api oleh SS lintas Soerabaja-Semarang-Cheribon-Batavia agar dapat dipercepat tetapi tidak pernah terealisasi karena adanya UU Jalur trem yang memungkinkan operasional jalur Semarang-Cirebon sebagai jalur trem.

Jalur rel yang berliku-liku di Preanger(Parahyangan) menjadi salah astu penyebab lamanya perjalanan kereta api(source:KITLV)
Jalur rel yang berliku-liku di Preanger(Parahyangan) menjadi salah astu penyebab lamanya perjalanan kereta api(source:KITLV)

Dibukanya jalur baru dari Cheribon – Proepoek – Poerwokerto – Kroja pada 1 Januari 1917 membuat waktu tempuh dapat dipersingkat menjadi 17 jam, dikarenakan kereta api dari dan ke Batavia tidak perlu lagi melintasi jalur Parahyangan sampai Bandoeng yang medannya berat. Tahun 1920an SS melakukan proyek besar diantaranya memasang jalur rel selebar 1067 mm disamping jalur NIS Djogjakarta – Soerakarta dan pengembangan stasiun Batavia Zuid(sekarang stasiun Jakartakota), selain itu didatangkan pula lokomotif-lokomotif uap baru yang lebih cepat dan bertenaga. Akhirnya tahun 1929 selesai sudah proyek tersebut.

Untuk merayakan selesainya pemasangan lintas Djogja – Solo tadi, diluncurkan kereta api “Eendaagsche Expres” yang merupakan kereta cepat Soerabaja – Batavia kelas mewah. Kereta ini diartikan SS “berjalan sepanjang matahari bersinar dari pagi sampai sore”. Perjalanan perdana tanggal 1 November 1929 dihadiri pejabat peringgi SS yang ikut serta naik dalam kereta. Sepanjang 13,5 jam perjalanan masyarakat antusias menyambut kereta ini. Eendaagsche Expres yang melaju dengan kecepatan maksimal 100 km/jam di lintas Cheribon – Proepoek ini menyelesaikan perdannya di sore hari menjelang malam. Para penjemput dan wartawan berita surat kabar di Soerabaja ternyata sudah berjam-jam sebelumnya menunggu tibanya Eendaagsche Expres di stasiun Goebeng SS dan Soerabaja SS.

Formasi rangkaiannya terdiri dari kelas I, kelas II, kereta restauratie(kereta makan) dan bagasi. Total panjangnya dapat mencapai 10 kereta. Untuk memanjakan para penumpangnya interior kereta dan kabinnya dibuat mewah bergaya kereta ekspres di Eropa jaman itu. Ada kursi berjok kulit, fasilitas pendingin udara dari es batu yang disalurkan ke kereta. Selain itu tentunya tersedia menu makanan khas Djawa dan Eropa yang dapat dipesan di kereta makan sembari menikmati panorama sepanjang perjalanan. Para penumpang dapat menggunakan jasa telegraf di kereta untuk keperluan komunikasi. Eendaagsche Expres selain dari Batavia juga melayani sampai Bandoeng, dimana jika kereta dari Soerabaja setibanya di stasiun Kroja rangkaiannya ada yang dipisah untuk menuju Bandoeng dan satu lagi melanjutkan perjalanan ke Batavia, begitu sebaliknya kereta menuju Soerabaja kedatangan kedua kereta akan digabung. Dan lagi, untuk mengakomodasi penumpang di kota yang dilalui lintas cabang, para penumpang dapat melakukan perjalanan estafet/oper dengan kereta lokal dari dan ke stasiun lintas utama perhentian Eendaagsche Expres. Ini dikarenakan SS membuat penyesuaian jadwal kereta lokal dengan jadwal tibanya Eendaagsche Expres di stasiun pertemuan lintas utama dan lintas cabang.

Perjalanan perdana Eendaagsche Expres 1 November 1929 dari Batavia
Perjalanan perdana Eendaagsche Expres 1 November 1929 dari Batavia
Interior kereta kelas I
Interior kereta kelas I
Lokomotif SS1020(C5320) buatan Werkspoor-Amsterdam adalah salah satu lokomotif penarik Eendaagsche Expres
Lokomotif SS1020(C5320) buatan Werkspoor-Amsterdam adalah salah satu lokomotif penarik Eendaagsche Expres(source: tropenmuseum-nederland)

Sebagai kereta bendera SS yang diandalkan, Eendaagsche Expres menggunakan lokomotif uap cepat kebanggan SS. Lokomotif penarik dilakukan pergantian sebanyak 4 kali. Untuk Soerabaja – Madioen – Djogjakarta digunakan SS1000(C53), Poerwokerto – Proepoek diganti SS1600(CC50) karena jalurnya menanjak, Proepoek – Cheribon – Batavia menggunakan SS700(C50). Untuk lintas Bandjar – Bandoeng mulanya digunakan SS1700(C30) lalu diganti SS dengan SS900(D50). Di stasiun pergantian lokomotif, sudah siap sedia lokomotif pengganti sehingga tak perlu waktu berlama-lama berhenti hanya untuk mengganti lokomotif. Secara perlahan SS berhasil mempersingkat waktu tempuh menjadi 12 jam di tahun 1934. Pada tahun 1939 SS berhasil mempercepat perjalanan lagi hingga mencetak rekor 11 jam 27 menit dengan rata-rata kecepatan perjalanan 71,7 km/jam. Makin cepatnya kereta api sesuai dengan semboyan SS “Steeds Sneller“. Rekor ini ternyata menjadi kereta tercepat se-Asia pada masa itu. Tentunya SS sangat bangga dengan prestasi ini.

Dua kereta Eendaagsche baru dipisah di Kroja untuk melanjutkan perjalanan ke Batavia dan Bandoeng
Dua kereta Eendaagsche perdana baru dipisah di Kroja untuk melanjutkan perjalanan ke Batavia dan Bandoeng

Tarif sekitar tahun 1934 (termasuk tuslah)

Batavia – Soerabaja
kelas I : ƒ 40.10
kelas II : ƒ 27.70
kelas III : ƒ 11.54

Bandoeng – Soerabaja
kelas I : ƒ 34.40
kelas II : ƒ 23.90
kelas III : ƒ 10.28

Jadwal Eendaagsche Expres tahun 1939

Batavia – Soerabaja

Stasiun Datang Berangkat
Batavia Koningsplein(Gambir) 06.45
Tjikampek 07.47 07.48
Cheribon SS 09.32 09.37
Proepoek 10.32 10.37
Poerwokerto 11.36 11.42
Kroja 12.07 12.17
Djogjakarta 14.03 14.08
Soerakarta 14.55 14.57
Madioen 16.09 16.14
Kertosono 17.07 17.09
Modjokerto 17.40 17.41
Soerabaja Goebeng SS 18.15

Bandoeng-Kroja yang akan digabung dengan rangkaian dari Batavia

Stasiun Datang Berangkat
Bandoeng 07.25
Tjibatoe 08.37 08.40
Tasikmalaja 09.50 09.52
Bandjar 10.40 10.48
Kroja 12.06

Vlugge Vijf, kereta ekspres Surabaya – Malang

Sejak jaman kolonial kota Malang dan juga Batu sudah berkembang menjadi kota tempat rekreasi dan tinggal bagi masyarakat terutama orang-orang Eropa karena berada pada dataran tinggi sehingga udaranya sejuk. Sementara kota Surabaya menjadi kota yang berkembang pesat didirikan banyak perkantoran dan industri, berbagai perusahaan dan pabrik ternama berdiri di kota ini seperti NV.Philips, NV.Braat Machinefabriek, Oreinstein & Koppel. Akibatnya arus komuter kedua kota ini sangat tinggi.

Lokomotif seri C menarik sebuah kereta, kemungkinan sebuah perjalanan inspeksi, melintas di jembatan Simping di Sentul, Lawang.
Lokomotif seri C11(atau bisa juga C12) menarik sebuah kereta sebuah perjalanan inspeksi tahun 1890an, melintas di jembatan Simping di Sentul, Lawang(source: KITLV)
Selain Malang, Lawang adalah kota peristirahatan bagi orang Eropa jaman itu. Nampak stasiun Lawang tahun 1910an(source: KITLV)
Selain Malang, Lawang adalah kota peristirahatan bagi orang Eropa jaman itu. Nampak stasiun Lawang tahun 1910an(source: KITLV)

Perjalanan kereta api SS(Staatsspoorwegen) Soerabaja – Malang sejauh 96 km sampai tahun 1900 memakan waktu tempuh 4 jam karena jalur Bangil-Lawang menanjak cukup terjal sementara lokomotif yang digunakan adalah seri SS200 sampai SS400(penomoran DKA seri C11 dan C12) yang berukuran kecil dan relatif lambat.

Sampai pada tahun 1934 terdapat 3 kereta cepat trayek Surabaya – Bangil – Malang dengan waktu tempuh 2 jam. Kereta tersebut merupakan pecahan kereta dari Surabaya ke Pasuruan yang dipisahkan di Bangil. Hal ini tentunya memakan waktu karena harus menunggu langsiran dan pergantian lokomotif uap. Jalur lintas Soerabaja – Porong pada tahun 1930 sudah dibangun double track oleh SS sehingga dapat menghilangkan persilangan kereta, namun selepas Bangil ke arah Pasoeroean dan Malang masih single. Seperti yang dikatakan sebelumnya, lintas Bangil-Lawang menanjak sepanjang 35 km dari ketinggian di Bangil 5 meter hingga mencapai puncaknya 526 meter dari permukaan laut selepas stasiun Lawang arah Singasari. Tingkat kemiringan bahkan mencapai gradien 21‰(per mil) di lintas Sengon dan Wonokerto yang dapat dilintasi berglijnloc(lokomotif khusus pegunungan dan mallet) dengan kecepatan maksimal 50 km/jam. Sementara jaman itu lintas Soerabaja – Wonokromo mencapai 85 km/jam, Wonokromo – Bangil 75 km/jam. Persaingan sengit dengan transportasi jalan raya seperti autobussen(bus) memaksa SS untuk meningkatkan kecepatan kereta apinya dan menambah frekuensi perjalanan.

Perbaikan pelayanan dimulai, fokus utama adalah bagaimana agar SS dapat menaklukkan jalur pegunungan lintas Bangil hingga Malang?

SS mempelajari kemungkinan penggunaan lokomotif uap cepat SS1300(nomor DKA seri C28) pada lintas Soerabaja – Malang. Dan ternyata satu lokomotif SS1300 dengan berat 75 ton mampu menarik 4 kereta seberat total 100 ton dengan kemiringan 21‰ hingga 75 km/jam, diperlukan daya silinder 1450 ipk. Jalur Bangil – Malang akhirnya dapat diberlakukan kecepatan 75 km/jam. Sekarang artinya diperlukan traksi ganda 2 lokomotif uap untuk menarik rangkaian sebanyak 5 kereta seberat 125 ton, daya yang dibutuhkan 2250 ipk dari total kekuatan 2 lokomotif SS1300 sebanyak 2400 ipk. Sementara lintas datar Soerabaja sampai Bangil(47 km) kecepatan maksimal ditambah hingga 90 km/jam di petak tertentu.

SS1300 dipercayakan menarik kereta ekspres karena kehandalannya. Tampak belum dipasang smoke deflector(source: J.J.G Oegema - De stoomtractie op Java en Sumatera)
SS1300 dipercayakan menarik kereta ekspres karena kehandalannya. Tampak belum dipasang smoke deflector(source: J.J.G Oegema – De stoomtractie op Java en Sumatera)
Koran yang memberitakan uji coba Vlugge Vijf pada Oktober 1934.
Potongan koran yang memberitakan uji coba Vlugge Vijf pada Oktober 1934.

Hasilnya adalah waktu tempuh dapat dipersingkat menjadi 1 jam 30 menit, lebih cepat 30 menit dari sebelumnya. Pada sabtu sore terdapat tambahan perjalanan ke Malang. Kereta ekspres ini resmi diluncurkan pada 1 November 1934 dengan nama “Vlugge Vijf” yang berarti “ekspres lima” karena terdapat 5 trip per hari. Dari stasiun Malang terdapat sambungan bus ke Batoe. Keuntungan adanya kereta api ekspres ini adalah “Setelah capek bekerja seminggu dapat beristirahat pada akhir minggu di taman dingin(Malang) dan kembali esok hari di kantor sebelum jam 8 dengan mudah”. Ternyata kereta ekspres ini berhasil menambah okupansi penumpang sehingga pada 1 Mei 1935 ditambah menjadi 6 trip, dan ada 1 trip facultatief(bisa ada jika dibutuhkan). Pada 1 November 1935 ketika KA Nacht Expres Soerabaja – Batavia diluncurkan, ditambahkan 1 trip lagi untuk persambungan di Soerabaja.

Masih kurang puas, SS mengujicobakan lagi rangkaian kereta seberat 75 ton dengan sebuah lokomotif SS1300 hasilnya waktu tempuh bisa dilibas dalam 1 jam 15 menit !

Melihat prestasi luar biasa tersebut, pada 3 November 1938 diluncurkan jadwal baru kereta api Soerabaja-Malang dengan frekuensi sebanyak 12 trip dari Soerabaja, dan 13 trip dari Malang. Jika dihitung maka artinya setiap jam siang hari terdapat 1 perjalanan. Waktu perjalanan berhasil dipersingkat menjadi 1 jam 20 menit, dan diadakan juga persambungan dengan kereta cepat siang Eendaagsche(Soerabaja – Batavia) yang berangkat dari Malang jam 4.55 pagi. Pada tahun 1940an sebelum masa Perang Dunia II atau Jepang menginvasi Indonesia, lintas pegunungan Bangil – Malang ditingkatkan SS hingga 90 km/jam!

Lokomotif uap C2843 di Bangil sekitar tahun 1980, seri lokomotif penarik kereta ekspres
Lokomotif uap C2843(eks.SS1343) di Bangil sekitar tahun 1980, seri lokomotif penarik kereta ekspres(source: spoorwegarchief, Nederland)

Kereta api ekspres Soerabaja – Malang setelah Indonesia merdeka mulai diadakan lagi pada tahun 1971 dengan nama Patas Tumapel yang juga mampu menempuh waktu 80 menit, kemudian dilanjutkan Jatayu, Malang Express, Penataran Express dan terakhir Bima yang diperpanjang hingga Malang. Sayangnya setelah masa kereta api Jatayu, kereta ekspres di rute ini kian memudar dan belum mampu bersaing dengan jalan raya karena banyaknya faktor seperti kurang baiknya jalur Bangil – Malang, frekuensi dan jadwal yang sedikit atau tidak tepat dengan kebutuhan masyarakat.

Melihat kehebatan dan ramainya perjalanan kereta api Soerabaja – Malang jaman itu, hanya ada satu pertanyaan: Dapatkah kini kereta api trayek Surabaya – Malang kembali berjaya dan benar-benar cepat seperti masa itu guna mengurangi beban jalan raya Surabaya – Malang yang kian padat?

Daftar pustaka : J.J.G Oegema, De stoomtractie op Java en Sumatera, 1982

Stasiun Soerabaja Masa SS Ternyata Pernah Dibangun 2 Kali!

Foto ini diambil pada tahun 1880. Coba tebak stasiun kereta api dimanakah pada foto dibawah ini?

COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Stationsgebouw_Surabaya_TMnr_10021960

Kemungkinan besar Anda akan menjawab stasiun Gubeng, stasiun Pasuruan atau stasiun Buitenzorg(Bogor). Ternyata tidak! Ini adalah stasiun Surabaya Kota yang diambil sekitar tahun 1880. Lho masa, bukannya stasiun Surabaya Kota yang lama adalah di depan Atom Mall yang baru selesai dipugar? Kok beda ya?

Berikut penjelasannya:

Stasiun Soerabaja SS atau dikenal lain dengan nama stasiun Bibis/Semoet merupakan pemberhentian kereta api milik SS(Staatsspoorwegen) pertama yang dibangun untuk lintas pertama Soerabaja – Pasoeroean. Stasiun pertama ini dibangun sekitar tahun 1877. Bangunan stasiun berarsitektur neoklasik yang populer pada jaman akhir abad 19 itu, tergolong megah dengan pilar menyerupai bentuk pintu. Masih di kompleks emplasemen stasiun tepatnya sebelah selatan dibangun dipo lokomotif dan kereta. Tak jauh dari stasiun didirikan kantor SS yang setelah kemerdekaan sempat menjadi kantor PNKA eksploitasi timur, sayangnya bangunan ini dibongkar menjadi pertokoan di tahun 1980an.

Emplasemen dan peron Stasiun Soerabaja SS, lokomotif uap seri SS200(penomoran jaman DKA: B50) saat itu merajai jalur-jalur kereta api pertama SS
Emplasemen dan peron Stasiun Soerabaja SS yang pertama. Lokomotif uap seri SS200(penomoran jaman DKA: B50) saat itu merajai jalur-jalur kereta api pertama SS.(source: KITLV)
Stasiun Soerabaja SS sekitar tahun 1890, tampak jalur trem uap OJS didepannya.
Stasiun Soerabaja SS sekitar tahun 1890 dengan penambahan di ujung bangunan, tampak jalur trem uap OJS didepannya.(source: KITLV)

Setelah dilakukan renovasi stasiun dengan penambahan ruang pada ujung sayap bangunan. Lalu menjelang tahun 1895 dibangun stasiun baru di sisi timurnya yang berjarak sekitar 100 meter. Masih belum ada alasan yang pasti mengapa SS memindahkan stasiun baru padahal bangunan stasiun yang pertama sudah cukup besar. Yang jelas sejak tahun 1890 angkutan kereta api SS mengalami peningkatan jumlah penumpang dan barang, apalagi dibukanya jalur ke arah barat menuju Kertosono dan Madiun via Sidoarjo dan ke timur menuju Jember. Inilah yang mendorong SS melebarkan peron dan emplasemen stasiun. Maka perlu membangun lagi bangunan stasiun ketimbang merenovasinya. Akhirnya untuk dipo diputuskan direlokasi ke areal baru yang besar, dipilihlah Sidatapa yang masih rawa-rawa. Sebagai catatan, saat itu baru diselesaikan jalur rel hingga Prins Hendrik-Oedjoeng(sekarang kawasan Depo Pertamina Benteng) yang melintasi kawasan Sidotopo.

Pada peta Surabaya tahun 1898 tergambar areal stasiun mengalami perluasan emplasemen dan masih nampak bangunan stasiun pertama. Ada juga gambar bangunan baru stasiun di sebelahnya. Kemudian pada peta tahun 1934 bangunan stasiun pertama tidak lagi tergambar, maka bisa diambil kesimpulan bahwa stasiun ini bisa jadi dibongkar SS sendiri.

Potongan peta tahun 1890. Huruf A adalah lokasi stasiun pertama, huruf B adalah stasiun baru Surabaya(Nieuwe Hoofdstation Soerabaja)
Potongan peta tahun 1898. Huruf A adalah lokasi stasiun pertama, huruf B adalah stasiun baru Surabaya(Nieuwe hoofdstation Soerabaja).(map source: KITLV)
Peresmian stasiun yang baru di tahun 1899.
Peresmian stasiun yang baru di tahun 1900.(source: KITLV)
Sebuah rangkaian kereta api dengan lokomotif SS200 mengebulkan asap di stasiun yang baru.(Source: KITLV)
Sebuah rangkaian kereta api dengan lokomotif SS200 mengebulkan asap di stasiun yang baru.(source: KITLV)
Awal tahun 1990an sebelum dipindah ke Indo Plaza.(source: petra document)
Awal tahun 1990an sebelum dipindah ke Indo Plaza.(source: petra document)

Hingga setelah kemerdekaan stasiun ini tetap melayani penumpang hingga tahun 1991. Semenjak itu aktivitas dipindah ke Indo Plaza yang berada pada 200 meter baart stasiun. Hal itu karena disekitar stasiun berkembang pesat pertokoan yang menghancurkan satu-persatu bangunan bersejarah kota lama Surabaya. Beruntung sekali, walaupun stasiun bersejarah ini hampir musnah karena dibongkar pada tahun 2004 hingga tinggal dinding dan rangka kanopi, akhirnya berhasil dihentikan oleh para pemerhati sejarah dan ditetapkan sebagai cagar budaya. Pada tahun 2011 pemugaran bangunan stasiun Soerabaja Kota resmi dimulai oleh PT.KAI, BP3 Trowulan bekerjasama dengan pihak heritage negeri Belanda. Pembangunan kembali ini dilakukan secara hati-hati dan membutuhkan riset mendalam, bahkan beberapa material tertentu diimpor dari Belanda. Setelah 4 tahun masa pemugaran akhirnya dapat selesai pada Agustus 2015.

Memang, stasiun Soerabaja Kota adalah bangunan yang sangat harus dipertahankan dan menjadi bukti peranan kereta api bagi kemajuan kota Surabaya terutama kawasan disekitarnya yang adalah pusat kota saat itu.